Inovasi teknologi untuk mengurangi biaya produksi bioetanol berbasis limbah

Environmentallca.my.id-

Pengembangan bioetanol di Tanah Air saat ini masih berfokus pada tanaman pangan seperti sawit dan tebu. Singkong dan jagung juga mulai dibidik sebagai bahan baku. Padahal, ada banyak sekali potensi limbah yang bisa dimanfaatkan, termasuk limbah sawit, jagung, dan tebu.

Melansir studi International Council on Clean Transportation (ICCT), potensi produksi etanol dari bahan baku residu sawit mencapai 2 juta kiloliter/tahun. Jika ditambah dengan pengolahan jerami, batang jagung, dan ampas tebu, potensi produksinya bisa mencapai 50 juta kiloliter/tahun.

Pamanfaatan limbah atau bioetanol generasi kedua ini memiliki dua keuntungan sekaligus. Pertama, biotanol yang dihasilkan lebih ramah lingkungan karena tidak perlu membuka lahan baru. Kedua, sumber daya utama bisa difokuskan untuk kebutuhan pangan.

Tapi sayangnya, sampai saat ini upaya pengembangan bioetanol dari limbah belum bisa menarik minat industri. Salah satu penyebab utamanya adalah ongkos produksi yang mahal. Namun, penelitian yang saya lakukan membuktikan bahwa biaya produksi sebenarnya bisa ditekan dengan adopsi teknologi yang tepat.

Mengapa produksi bioetanol dari limbah perlu ongkos besar?

Bioetanol generasi kedua (G2) adalah pengembangan dari bioetanol generasi pertama (G1) yang memiliki perbedaan pada bahan baku. Jika bioetanol G1 menggunakan tanaman pangan, bioetanol G2 berbasis selulosa, yang berasal dari limbah tanaman.

Proses pengolahan bioetanol G2 memang lebih kompleks dibandingkan G1. Bioetanol G1 lebih mudah dibuat karena bahan bakunya, seperti tebu atau jagung, sudah mengandung gula yang bisa langsung di fermentasi (diubah menjadi alkohol oleh mikroorganisme).

Sementara bioetanol G2 yang berasal dari limbah lebih sulit diolah, karena bahan bakunya seperti jerami, batang, atau kayu tanaman mengandung lignoselulosa—zat yang membuat tanaman kuat dan keras.

Oleh karena itu, sebelum di fermentasi, pengolahan bioetanol dari limbah harus melalui dua langkah tambahan, yakni proses pra-perlakuan (pretreatment) untuk melemahkan struktur lignoselulosa agar lebih mudah dipecah.

Setelah itu, akan dilanjutkan ke tahap hidrolisis untuk mengubah selulosa (salah satu komponen lignoselulosa) menjadi gula sederhana (glukosa) dengan bantuan enzim selulase.

Tabel perbandingan bioetanol G1 vs bioetanol G2/Flourish. Dewi Nurita TCID.

Dalam proses hidrolisis inilah beberapa potensi kendala teknis kerap terjadi, misalnya konsentrasi lignin yang tinggi bisa menghambat kerja enzim yang membantu mengubah selulosa menjadi gula. Selain itu, durasi proses hidrolisis juga cukup lama. Prosesnya bisa memakan waktu hingga 48 jam, sehingga bisa memperlambat proses produksi.

Setelah proses hidrolisis selesai, barulah glukosa bisa di fermentasi untuk menghasilkan etanol. Dilanjutkan dengan proses distilasi (memisahkan etanol dari campuran fermentasi), pemurnian etanol, hingga pencampuran dengan bensin atau penggunaan langsung.

Setiap proses pembuatan bioetanol tentunya membutuhkan teknologi khusus dan tenaga kerja, yang membutuhkan biaya. Karena proses yang kompleks, teknologi pengolahan bioetanol berbasis lignoselulosa juga lebih canggih atau satu tahap di atas teknologi generasi pertama dan harganya pasti sedikit lebih mahal. Dan saat ini, teknologi maupun enzim yang digunakan untuk pengolahan bioetanol G2 juga masih bergantung pada impor, yang mengakibatkan biaya produksinya tinggi.

Solusi: Menekan biaya produksi dengan teknologi

Saya bersama sejumlah rekan peneliti mengkaji penghematan ongkos produksi bioetanol berbasis limbah. Sejumlah studi yang kami lakukan menunjukkan efisiensi pengembangan bioetanol dari limbah bisa dilakukan dengan beberapa inovasi teknologi dalam negeri.

Penjelasan dalam acara.

Mula-mula, kami meneliti cara mengolah limbah aren menjadi bioetanol dengan teknologi biorefinery menggunakan cairan ionik.

Teknologi ini terbukti sangat efisien dan dilakukan dalam tiga tahap utama:

1. Perlakuan awal dengan cairan ionik: Cairan ionik adalah senyawa yang keseluruhannya terdiri dari ion-ion dengan titik leleh di bawah 100°C. Cairan ionik dapat juga disebut sejenis garam yang tetap berada dalam bentuk cair pada suhu di bawah 100°C. Cairan ini berfungsi memecah struktur keras limbah yang mengandung lignoselulosa, sehingga bahan baku lebih mudah diolah menjadi bioetanol.

2. Sakarifikasi enzimatik: Setelah strukturnya lebih lunak, selulosa (yang merupakan komponen dalam lignoselulosa) diubah menjadi gula sederhana dengan bantuan enzim.

3. Fermentasi dan distilasi: Gula di fermentasikan menggunakan mikroorganisme untuk menghasilkan etanol.

Hasil uji coba yang kami temukan dalam riset ini cukup tinggi, dengan konsentrasi etanol mencapai 90,6 g/L dan efisiensi konversi 96%. Artinya, hampir semua gula berhasil diubah menjadi bioetanol.

Simulasi yang saya lakukan bersama sejumlah tim peneliti menggunakan perangkat lunak SuperPro Designer menunjukkan bahwa proses ini dapat menurunkan biaya produksi hingga 30%, menjadikannya lebih kompetitif dibandingkan bahan bakar fosil.

Untuk mempermudah proses pengolahan, kami juga telah merancang sistem hidrolisis terintegrasi dengan membuat tangki dengan sekat bergerak, sehingga pencampuran biomassa lebih efektif.

Kami juga membuat pengaduk khusus yang bisa menangani limbah yang kental supaya enzim bekerja lebih efektif. Selain itu, kami pun merancang sistem kendali pintar yang bisa mengatur kekentalan limbah secara otomatis agar produksi lebih cepat dan efisien.

Teknologi ini menawarkan fleksibilitas bagi pabrik baru maupun lama. Pabrik lama bisa mengadopsi teknik sakarifikasi Very High Gravity (VHG) tanpa perubahan besar pada infrastruktur, sementara pabrik baru dapat langsung mengintegrasikan desain tangki modern dan sistem kendali pintar sejak awal pembangunan.

Kesimpulannya, dengan adopsi teknologi inovatif ini, tantangan teknis dalam produksi bioetanol G2 dapat diatasi sehingga menjadi lebih ekonomis dan efisien. Biaya produksi juga sebenarnya sudah ditekan dengan sendirinya karena bahan baku yang jauh lebih murah dan tersedia melimpah. Jadi, tidak ada alasan untuk sulit mengembangkan bioetanol G2.

Bioetanol generasi kedua berbasis limbah terbukti lebih menjamin keberlanjutan energi di masa depan. Banyak negara di dunia kini berlomba-lomba mengembangkan bioetanol generasi kedua, bahkan generasi ketiga dari alga. Saatnya Indonesia mengambil langkah serupa. Investasi dalam pengembangan bioetanol G2 adalah kunci menuju energi yang lebih hijau dan mandiri. Dukungan kebijakan seperti insentif pajak atau subsidi penelitian bakal mempercepat adopsi teknologi ini.

Artikel ini merupakan Rangkuman Ulang Dari Berita : https://theconversation.com/inovasi-teknologi-untuk-mengurangi-biaya-produksi-bioetanol-berbasis-limbah-248678

Tinggalkan komentar